Tentang Sepi dan Sendiri

Diah Kintan P
3 min readMay 24, 2020

--

Satu tahun berlalu sejak aku menginjakkan kaki di perantauan. Tahun keduaku di sini terasa lebih mudah. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan kehidupan di sini, sudah terbiasa dengan pekerjaan, dan yang paling berbeda dari tahun sebelumnya, aku sekarang punya teman.

Satu tahun di perantauan, bagaimana bisa kamu tidak punya teman? Mungkin kau bertanya begitu. Setidaknya bagiku, negara yang aku tinggali sekarang ini sungguh tempat yang dengan mudah membuatku merasa kesepian. Tentu aku mengenal banyak orang di tempat kerja, aku sering menghabiskan waktu dengan mereka, tapi bukan berarti mereka ‘teman’ku. Setahun mengenal orang-orang di tempat kerja, aku tentu tahu bagaimana watak mereka, aku tahu hobi mereka, tahu apa yang mereka suka atau tidak suka, tapi aku tidak merasa mengenal mereka sepenuhnya. Aku tidak mengerti bagaimana pandangan mereka soal kehidupan, aku tidak mengerti apa yang paling mereka takuti, aku rasa aku tidak mengenal mereka. Tidak seorang pun yang bisa benar-benar aku sebut sebagai teman.

Tahun lalu, saat aku masih anak baru di tempat kerja. Aku menghabiskan dua hingga tiga bulan terberat dalam hidupku. Yang menggeser masa-masa mengerjakan skripsi menjadi masa terberat kedua. Banyak sekali drama dalam mengerjakan skripsi kala itu. Waktu pengerjaan yang singkat, mengganti judul dan mengulang penulisan dari nol, dan banyak lagi. Tapi masa-masa berat itu terasa lebih ringan karena aku punya teman. Keberadaan seseorang yang menemani dalam proses itu sangat menghibur, meski kami hanya ngobrol-ngobrol atau pergi makan saja.

Aku memang tidak memiliki kepribadian yang ekstrovert. Tapi kepada orang-orang terdekat aku selalu bisa membuka diri. Aku selalu bisa mengutarakan pikiran-pikiran yang menggangguku, aku bisa membicarakan soal mimpi dan rencana-rencana di masa depan, dan tentu aku bisa bercerita sambil mewek kalau perlu. Dan itu yang tidak bisa aku dapatkan dari orang-orang di sekitarku sekarang, keterbukaan.

Aku akan selalu merasa berjarak, aku akan selalu merasa tidak nyaman, aku akan selalu tidak benar-benar mengenal mereka dalam level yang lebih. Dan pada akhirnya aku menerima kenyataan itu dengan menyerah. Aku berhenti mencoba untuk mengharapkan hubungan yang lebih akrab dengan orang-orang di sekitarku dan aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu sendiri yang ternyata lebih menyenangkan buatku. Berada di antara orang-orang yang aku kenal tanpa benar-benar memiliki kedekatan emosi itu lebih membuatku merasa kesepian, lebih sepi dibanding saat aku menghabiskan waktu sendiri di kamar.

Merasa kesepian ini juga yang membuatku ingin pergi dari kota yang aku tinggali sekarang. Awal tahun ini aku sempat berencana untuk mencari pekerjaan baru dan pindah ke ibukota demi bisa bersama dengan teman-temanku. Sayangnya rencanaku tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan. Setelah berbagai pertimbangan aku akhirnya memperpanjang kontrak dan tetap bertahan di kota kecil ini. Kabar baiknya, temanku semasa kuliah sekarang juga bekerja di kota yang sama. Sekarang aku punya teman yang bisa aku temui untuk berbincang empat mata saat aku rindu membicarakan hal-hal serius.

Pagi ini temanku bertanya, bagaimana ya rasanya jadi kamu sendirian di negara asing masa karantina begini? Tidak ada yang berbeda, aku sudah lama biasa sendiri. Aku sudah biasa merasa kesepian. Mungkin aku malah sudah berteman dengan sepi. Entahlah. Aku merasa lebih senang begini karena tidak ada paksaan untuk berbasa-basi dengan orang-orang di sekitarku. Tidak harus berada di antara orang-orang yang justru membuatku merasa terasing.

Begitulah. Ternyata kau tidak melulu harus sendiri untuk merasa kesepian, dan kau tidak melulu merasa kesepian saat sendiri.

Hakone, 25 Mei 2020

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet