Tanpa

Diah Kintan P
2 min readJun 13, 2020

--

Dua tahun. Mungkin bukan waktu yang lama. Namun bagiku, dua tahun itu terasa cukup lama. Cukup lama bagiku yang sempat mencoba bersembunyi dari kenangan dan bayang-bayang akan dirimu yang cukup mengganggu. Bagiku yang mencoba bangkit dari kesedihan, mencoba untuk tidak tenggelam dalam air mata yang mengalir tanpa diminta pada malam-malam yang kelewat kelam. Dua tahun lebih kamu meninggalkanku, dan dua tahun lebih pula aku kehilangan semua kata-kata yang ikut pergi bersama bayangmu yang kian lama kian menudar.

Photo by Dmitrii Vaccinium on Unsplash

Jika hidup sejatinya adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan perpindahan dari satu kesedihan ke kesedihan yang lain, maka sungguh mati aku tidak tahu kesedihan macam apalagi yang harus kuhadapi. Karena aku lebih sering merasa sial dibanding beruntung.

Aku akan bercerita tanpa kamu minta, dan aku tidak akan berhenti meski kamu memaksa. Jadi kamu hanya cukup diam, duduk tenang, dan membaca dengan seksama. Tentu saja jika kamu berkehendak demikian.

Hari ini aku menyusuri jalanan kota dengan membawa pertanyaan, masihkah ada kenangan yang tertinggal di sudut gelap Jogja? Aku rasa kenangan itu telah memudar, seperti bekas hujan tadi sore. Tapi mungkin juga kenangan-kenangan itu akan datang di lain waktu. Siapa yang tahu? Mungkin kenangan itu telah melebur dengan udara Jogja, hingga aku tak perlu merasa sesak saat menghirupnya. Mungkin saja.

Malam itu, aku mencoba menelusuri. Kenangan yang sudah sedikit banyak buyar. Kenangan yang dulu kita rakit sebelum kita terpisah beribu sunyi. Percayakah kamu? Kereta yang dulu mendekatkan kita itu, kini gerbongnya membawaku jauh dan sangat jauh darimu, jauh dari anganku untukmu.

Dua tahun lebih itu adalah puluhan bulan, ratusan hari, beribu diam tanpa kabar, tanpa percakapan. Dua tahun lebih itu adalah perjalanan panjang mencoba meninggalkan kesedihan. Dua tahun lebih itulah yang menjadikan kita seolah tidak saling mengenal.

Mungkin sejatinya, hidup bukan sekadar berpindah dari satu kesedihan ke kesedihan yang lainnya. Namun juga pelajaran yang kita renungkan kala air mata kita berjatuhan, rasa yang ada dalam setiap pertemuan dan perpisahan. Karena kamu, yang bayangnya telah membuyar dalam ingatanku (meskipun tidak dapat kupungkiri ada sedikit rindu yang mengetuk pintu hatiku meminta untuk dikembalikan kepada si pembuat rindu) adalah pelajaran yang berharga untukku. Dan aku berterimakasih atas perpisahan, luka, dan kesedihan yang telah kamu berikan. Karena itu yang membuatku menjadi aku yang sekarang.

Jogja-Solo-Karanganyar,
7–8 Agustus 2016

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet