Sepasang Sepatu Baru
…
prok prok prok ada sepatu
sepatuku sepatu baru
kudapat dari ibu karena rajin membantu
Aku tiba-tiba teringat lagu yang sering dinyanyikan di kelas kala masih belajar di bangku taman kanak-kanak dulu. Bukan tanpa alasan, di kamarku terpajang sepasang sepatu, baru kubeli tadi siang. Sambil menyanyikan lagu anak itu aku berpikir, enak ya rajin membantu bisa dapat sepatu. Aku menahan umpatan, menjadi dewasa itu kenapa jarang sekali menyenangkan ya? Harus menghidupi diri sendiri, harus mengurusi diri sendiri, lebih banyak ribetnya. Bisa menolak menjadi dewasa dan tetap menjadi anak-anak secara psikologis mungkin, tapi memangnya bisa terus-terusan hidup seperti itu?
Hidup sebagai orang dewasa itu melelahkan. Aku masih ingat ketika awal mulai bekerja. Sembilan jam sehari aku habiskan tidak di rumah, sepuluh jam mungkin kalau dihitung waktu berangkat dan pulang kerja. Sebulan pertama, semua badan pegal-pegal, sendi-sendi terasa nyeri, lebam muncul di sana-sini, lelah sekali. Seperti anak manja yang baru lepas dari orang tua pada umumnya, tentu aku pernah menelepon orang tuaku untuk berkeluh kesah, sambat. Apalah hidup tanpa sambat?
Bapak, adalah orang paling santai yang aku kenal. Aku tidak pernah tahu persis apa yang dipikirkan bapak, tapi bapak selalu go with the flow, mengalir begitu saja. Ketika aku mengeluhkan soal lelahnya bekerja, bapak hanya menjawab sambil tertawa, “nggih pancen kesel. mangke lak kulina. kulina kesele (ya memang capek. nanti juga terbiasa. terbiasa capeknya)”. Ada sedikit rasa bersalah ketika mendengar wejangan dari bapak. Pertama, karena merasa lemah sekali menghadapi kehidupan. Kedua, karena merasa selama ini aku tidak cukup menghargai perjuangan bapak menghidupi keluarga dan menyekolahkanku hingga ke perguruan tinggi.
Hidup sebagai orang dewasa itu selalu sibuk dan melelahkan. Aku tidak tahu bagaimana denganmu, tapi aku sering merasa begitu. Kadang terlalu sibuk dan fokus dengan pekerjaan, lupa makan, lupa tidur. Kondisi badan jadi tidak keruan. Lupa, kalau badan ambruk kantor akan dengan mudah mengoper pekerjaan ke orang lain. Lupa, kalau tidak bisa bekerja lagi dan harus berhenti, posisi di kantor akan segera digantikan orang lain. Kadang juga terlalu sibuk membahagiakan orang-orang lain, hingga lupa kalau sulit untuk membahagiakan orang lain kalau sendirinya tidak bahagia. Lupa kalau diri sendiri harus lebih dulu bahagia.
Terdengar egois? Entahlah. Mungkin? Tapi di tahun kedua bekerja di negeri matahari terbit aku semakin sadar, aku tidak punya siapa-siapa selain aku. Aku sendiri. Sepele. Siapa yang akan menyiapkan sarapan? Aku. Siapa yang akan mencuci piring kotor? Aku juga. Siapa yang akan membereskan kamar yang menjelma kapal pecah itu? Aku lagi. Siapa yang bisa membelikanku barang-barang yang aku inginkan? Aku pula. Siapa yang paling mengerti tentangku dan bisa membahagiakanku? Jawabannya sama, aku.
Uang memang tidak selalu bisa membeli kebahagiaan. Tapi hal-hal yang membahagiakanku banyak yang bisa dibeli dengan uang. Sepasang sepatu baru, misalnya. Sepasang sepatu yang kuhadiahkan untuk diriku, karena telah berhasil kembali melakukan sesuatu yang disukainya, menulis.
Hakone, 10 Juni 2020