Salam kenal, aku orang yang paling menyedihkan

Diah Kintan P
4 min readJan 15, 2020

--

Juli tahun ini aku akan merayakan ulang tahun yang ke dua puluh tiga. Sepertinya tidak akan ada yang spesial tahun ini, sama seperti dua puluh dua tahun yang telah berlalu. Mungkin ini masalah terpelik yang saat ini kuhadapi: terjebak dalam tempurung dan terus-menerus mengasihani diri sendiri.

Aku selalu merasa aku adalah orang yang paling menyedihkan. Hidupku biasa-biasa saja, tidak ada yang menyenangkan. Setidaknya begitu menurutku. Meski aku yakin, orang-orang tidak melihat dengan cara yang sama sepertiku.

Kamu mau dengar cerita? Hati-hati, kamu mungkin akan bosan atau malah ketiduran.

Aku lahir di Solo pada tahun 1997. Satu tahun sebelum kerusuhan 1998 terjadi. Tidak ada yang aku ingat dari kengerian yang terjadi tahun itu, tapi tentu cerita-cerita tentang kejadian-kejadian yang membuat bergidik itu berkali-kali aku dengar dari kakak dan ibuku. Cerita seperti: kakakku yang tiba-tiba harus berlari pulang ke rumah saat senam pagi, kantor bapak (bapak saat itu bekerja di dealer mobil) yang dibakar dan mobil-mobil dibawa pulang karyawan, Luwes Palur yang dijarah dan dibakar, juga cerita-cerita lainnya yang sayang tidak aku ingat.

Aku tidak ingat banyak tentang masa kecilku. Aku ingat beberapa teman bermainku. Aku ingat punya teman bermain yang agak nyentrik, satu tetanggaku mengidap down syndrome, satu tetanggaku sedikit hiperaktif, satu tetanggaku memiliki gangguang dengan penglihatannya, aku berteman baik dengan mereka. Aku ingat bermain kelereng, bermain bola sampai jempol kaki terluka dan kerepotan saat akan membeli sepatu baru, aku ingat bermain lama-lama di rumah tetangga untuk bermain video game, juga kadang bermain jelangkung siang bolong. Aku juga ingat betapa nakal dan ngeyelnya aku sampai sering sekali dimarahi orang tua di rumah kadang juga di tempat umum. Tapi ada beberapa hal yang tidak aku ingat, salah satunya film-film dan tayangan televisi yang pernah aku tonton. Aku tidak ingat pernah menonton Doraemon atau Krayon Shinchan, padahal kakakku bersaksi aku juga ikut menonton bersamanya di Minggu pagi. Entahlah, aku hanya tidak ingat sama sekali.

Saat masih SD aku bisa dibilang cukup pintar. Hampir selalu berada di peringkat tiga besar di kelas. Aku pindah sekolah saat kelas 5 SD karena pindah rumah. Aku pindah ke daerah yang lebih ndesa, entah bagaimana ceritanya aku menjadi semacam anak terpandai di sekolah itu. Meski di hari pertama aku menangis seharian dan tidak jadi masuk kelas saking takutnya. Menjadi ‘anak emas’ aku ikut berbagai macam lomba untuk mewakili sekolah, mulai dari lomba cipta baca puisi, olimpiade matematika, cerdas cermat, hingga siswa teladan. Percaya tidak percaya, dari beberapa perlombaan itu ada yang tembus hingga tingkat provinsi. Prestasi-prestasi itu bukannya membanggakan tapi malah lucu kalau diingat sekarang.

SMP dan SMA aku mengikuti program akselerasi, dari siswa paling pintar aku menjadi siswa yang terhitung biasa saja. Teman-temanku selain sudah pintar dari sononya, juga super rajin belajar. Teman-teman SMP dan SMA banyak yang nyleneh, kalau diceritakan satu per satu pasti tidak akan ada habisnya. Lanjut ke masa akhir SMA, saat teman-teman banyak yang memilih untuk melanjutkan kuliah di bidang kesehatan atau teknik, aku memilih untuk mengambil jurusan sastra. Sastra Jepang lebih tepatnya, di salah satu universitas ternama di Jogja.

Singkat cerita, setelah menjadi mahasiswa Sastra Jepang aku mendapat kesempatan untuk mlipir ke Jepang dua kali. Kali pertama untuk mengikuti seminar internasional yang lebih semacam forum diskusi dan presentasi di akhir acara, dan yang kedua untuk pertukaran pelajar dua semester. Tentu ini menjadi pengalaman yang sangat berharga karena tidak semua orang bisa dengan mudahnya mendapatkan kesempatan semacam ini.

Setelah selesai program pertukaran pelajar, aku pulang ke Indonesia bulan Februari tahun 2018. Ngebut untuk menyelesaikan skripsi dan lulus, pergi ke Jakarta untuk bekerja yang berakhir dengan menjadi sakit-sakitan (aku menyebutnya sebagai penyakit ibu kota, karena aku segera kembali sehat saat pulang ke rumah). Aku memutuskan untuk angkat kaki dari ibu kota dan mencari pekerjaan lain. Setelah menghabiskan banyak waktu berselancar mencari lowongan pekerjaan. Aku akhirnya mendapatkan pekerjaan baru, di Jepang.

Aku ingat bagaimana aku sangat berdebar membayangkan hari-hari baru yang akan aku jalani.

Sembilan bulan telah berlalu dari kedatanganku di Jepang. Dan sekarang hari-hariku sering kuhabiskan untuk mengasihani diri sendiri. Aku tahu mestinya aku melihat diriku sebagai orang yang beruntung. Aku beruntung bisa membuat keputusan-keputusan untuk diriku sendiri karena aku punya ‘pilihan’. Aku beruntung bisa bekerja mandiri dan menghidupi sendiri. Tapi aku tetap merasa seperti orang yang paling menyedihkan di dunia.

Betapa menyedihkan, hidup sendiri jauh dari keluarga pulang ke kamar kosong setelah menjalani hari yang panjang. Betapa menyedihkan, mendapati mimpi-mimpi menjadi kenyataan untuk menjalaninya bagaikan siksaan. Betapa menyedihkan, tidak memiliki kawan dekat untuk bercerita mengenai hari yang melelahkan atau pelanggan yang menyebalkan. Betapa menyedihkan, menjadi buta dan tidak bisa melihat sisi baik keadaan.

Aku tidak punya tempat untuk pulang, aku juga tidak punya tujuan.

Andaikan aku tidak tumbuh dewasa, aku tidak akan menjadi orang yang paling menyedihkan.

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

Responses (2)