Rambut di Kepala

Diah Kintan P
2 min readOct 26, 2020

--

Aku selalu suka dengan rambut panjang. Mungkin karena perempuan dengan rambut panjang itu katanya cantik. Mungkin karena berambut panjang, tebal, dan hitam pekat adalah definisi cantik yang aku pahami dari televisi sejak aku kecil. Atau karena dulu pacarku (yang sekarang sudah menjadi mantan) pernah bilang kalau aku lebih cantik kalau rambutku panjang.

Banyak sekali cerita soal rambut yang ada di kepala ini. Dulu waktu aku kecil, aku pernah minta supaya rambutku dipotong pendek. Aku ingat pergi ke salon, dan setelah dipotong aku malah menangis karena tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Kependekan, kayak cowok. Mungkin hari itu aku merengek minta rambut yang sudah dipotong supaya dipasang kembali. Entahlah, aku tidak ingat.

Dulu aku adalah seorang anak yang teramat cengeng, sekarang pun juga masih cengeng. Aku bisa lupa dengan acara televisi yang tayang di akhir pekan ketika aku masih seorang anak ingusan, tapi aku ingat banyak kejadian-kejadian yang membuatku menangis. Seperti suatu hari saat aku menangis sepanjang perjalanan pulang setelah diejek teman sekelas. Teman laki-lakiku itu bilang kalau rambutku seperti genderuwo. Aku yakin aku menendangnya terlebih dulu sebelum lari pulang ke rumah sambil menangis. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu hingga mengira menendang teman dan menangis akan menyelesaikan masalah. Tapi nyatanya hingga sekarang aku masih belum jago menghadapi masalah juga.

Dulu rambutku sangat tebal dan lurus. Aku sering dikira keturunan Tionghoa karena rambut tebal lurus, ditambah kulit putih dan mata yang kecil. Namun semenjak masuk SMP, rambutku mulai banyak rontok. Penyebabnya? Sampai sekarang aku masih tidak tahu. Yang jelas kerontokan rambutku belum membaik hingga sekarang. Aku terkadang merasa sedih melihat bayanganku di depan cermin. Aku sering bilang kalau biasanya cela di antara rambut itu "dalan tumo", di kepalaku ini sudah jadi "dalan coro".

Walaupun sejak dulu rambutku sangat kering dan selalu rontok. Aku selalu memanjangkan rambutku. Aku tidak pernah memangkasnya hingga benar-benar pendek, kecuali untuk satu alasan; patah hati.

Aku memotong rambutku sangat-sangat pendek (setelah sekian lama) sekitar enam tahun yang lalu. Tentu karena patah hati yang begitu dahsyatnya aku kira itu adalah akhir dari dunia. Aku tidak tahu bagaimana denganmu, tapi potong rambut bagiku itu semacam ritual buang sial. Membuang yang lama, menyambut awal yang baru dengan penampilan baru, dan tentunya dengan kepala yang lebih ringan.

Awal tahun ini aku kembali memotong rambutku pendek, lagi, setelah sekian lama. Bedanya, aksi potong rambut kali ini karena stres terlalu memikirkan permasalahan hidup. Stres yang dibumbui dengan kenekatan itu yang membuat tanganku begitu berani mengangkat gunting dan asal potong begitu saja. Tentu ini adalah sebuah keputusan yang aku sesali dengan sangat cepat. Begitu sadar rambutku sudah berjatuhan di wastafel, aku langsung mencari info salon terdekat untuk didatangi di hari libur.

Sejak saat itu aku tidak terlalu ingin memanjangkan rambutku lagi. Mungkin karena malas. Mungkin karena rambutku masih terus rontok. Atau mungkin karena aku sadar bahwa tidak ada gunanya memanjangkan rambut untuk ritual patah hati karena hidupku adalah patah hati yang tidak kunjung usai. Entah.

Setidaknya rambut baru ini tidak tampak buruk.

Hakone, tengah malam di penghujung bulan Oktober

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

Responses (1)