Penjaja Mimpi

Diah Kintan P
4 min readMay 26, 2020

--

Aku bangun sebelum matahari terbit. Aku beranjak dari tempat tidur dan segera berjalan ke kamar mandi. Aku nyalakan keran, lalu kutadahi air dengan tanganku untuk membasuh muka. Aku menuju dapur dan mengambil segelas air. Menu sarapan hari ini sama seperti hari-hari lainnya, sepiring nasi dan telur ceplok. Aku ambil handuk, masuk ke kamar mandi, melepas baju, lalu mengguyur air ke seluruh badan. Setengah ritual pagiku telah usai setelah aku selesai mandi.

Aku berjalan ke kamar tidurku, mengambil baju yang sudah aku pilih kemarin malam. Aku harus berpakaian rapi hari ini, aku harus tampak meyakinkan. Masih ada 40 menit sebelum aku harus berangkat mengejar bus kota. Aku merapikan dasi di kerah bajuku dan menyisir rambutku untuk yang kelima kalinya. Aku periksa semua barang-barang yang harus aku bawa. Aku keluar dan mengunci pintu. Setelah aku memastikan pintu benar-benar terkunci, aku berjalan menuju halte bus terdekat.

Hari ini aku akan pergi ke luar kota, tapi aku harus berkumpul dengan orang-orang kantor sebelum pergi yang artinya aku harus ke pusat kota terlebih dahulu. Tidak efisien sekali, tapi aku tidak bisa mengeluh. Pekerjaan adalah pekerjaan, suka tidak suka harus dijalankan.

Aku benci pekerjaanku. Aku yakin ada banyak sekali orang yang juga begitu. Persetan dengan passion. Pada akhirnya aku hanya bekerja untuk bertahan hidup. Mau tidak mau aku akan terus berkerja karena aku belum ingin mati kelaparan. Aku bekerja di salah satu perusahaan asing di kota besar. Pekerjaan yang aku lakukan berbeda-beda. Namun, yang akan aku lakukan hari ini akan menyisakanku banyak rasa tidak nyaman.

Hari ini aku akan pergi ke salah satu sekolah di luar kota untuk memberikan presentasi mengenai suatu program. Program, haha lucu sekali. Iya lucu, karena sesungguhnya itu hanyalah produk bagi kami, produk yang kami jual untuk mendapatkan keuntungan semata. Ini kedua kalinya aku mengunjungi sekolah ini, sebelumnya aku datang untuk membicarakan masalah komisi dengan kepala sekolah. Setelah besaran komisi beres, kepala sekolah baru mengijinkan kami untuk memberikan presentasi.

Aku memasuki ruangan kelas. Di hadapanku, remaja-remaja dengan mata yang memancarkan ambisi. Aku memulai presentasi. Semua yang aku katakan, aku sudah hafal betul di luar kepala. Aku ceritakan pada mereka tentang sebuah negeri yang jauh dari pulau-pulau di Indonesia yang musimnya berganti empat kali dalam satu tahun. Aku ceritakan pada mereka tentang anak-anak bangsa lain yang sekarang tinggal di sana untuk bekerja. Aku katakan pada mereka bahwa mereka akan mendapatkan lebih banyak uang di sana daripada di negeri sendiri. Aku yakinkan pada mereka bahwa mereka akan mendapatkan pengalaman yang sangat berharga yang tidak akan bisa digantikan dengan harta benda. Aku jelaskan dengan sangat detail cara agar mereka bisa bergabung dengan program yang kami tawarkan.

Orang lain menyebutku pegawai kantoran, tapi aku rasa aku tidak lebih dari seorang penjaja mimpi. Aku tidak menjual mimpi di kota-kota besar. Aku akan pergi ke luar kota, ke kota-kota kecil untuk menjajakan mimpi-mimpi itu. Orang-orang di sana lebih mudah percaya. Tidak seperti orang-orang di kota besar yang sudah tidak percaya mimpi. Mungkin mereka percaya sebelum datang ke kota besar, mungkin mereka datang karena mimpi mereka. Tidak butuh waktu yang lama untuk mereka menyadari bahwa mimpi hanyalah omong kosong dengan realita kejam yang mereka hadapi setiap harinya. Mimpi-mimpi akan tetap menjadi mimpi-mimpi, mimpi-mimpi ada tidak untuk menjadi nyata. Aku pikir begitu.

Sebagai seorang penjaja mimpi aku sadar betul bahwa menjajakan mimpi sama saja dengan membual. Menjual omong kosong, atau lebih buruk lagi, menjual kebohongan. Bagaimana bisa seseorang berbicara seolah menjanjikan sebuah kepastian di masa depan padahal masa depan tidak pernah bisa diterka?

Aku pulang. Kubuka pintu dan segera masuk rumah. Aku lepas dasiku, lalu aku berbaring di atas kasur. Suara-suara di kepalaku semakin lama terdengar semakin lantang. Aku membayangkan, wajah anak-anak yang begitu cerah saat bercerita soal mimpi baru mereka kepada orang tua mereka. Kubayangkan wajah-wajah tua yang lelah tapi tetap mencoba tersenyum. Orang tua yang terdiam, memutar otak mencari akal bagaimana agar bisa membelikan anaknya mimpi yang diceritakannya dengan berapi-api. Terdiam, mendengar angka-angka yang bahkan tidak pernah ada di tabungan mereka.

Perasaanku sangat tidak nyaman. Aku sudah membohongi anak-anak itu. Kolegaku selalu berkata, kita tidak berbohong, kita hanya sedikit menyembunyikan fakta. Membicarakan kenyataan bukanlah pekerjaan seorang penjaja mimpi. Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Dari mereka aku sembunyikan kenyataan bahwa uang yang mereka terima nanti bahkan kurang dari 50% standar gaji, bos yang mereka temui nanti bisa jadi bersikap tidak adil hanya karena mereka belum lancar berbicara bahasa lokal, mereka akan tinggal di apartemen yang sempit, mereka belum tentu bisa pulang untuk bertemu dengan orang tua mereka, dan juga orang tua mereka yang mungkin harus menjual separuh harta benda demi bisa memberangkatkan mereka. Entah kenyataan macam apa yang akan mereka hadapi di tempat asing itu.

Sebelum tidur aku akan berdoa malam ini. Aku akan berdoa agar anak-anak itu tidak termakan omonganku tadi siang, aku akan berdoa agar mereka tidak perlu menjalani hal-hal yang kelewat tidak menyenangkan. Dan aku juga akan berdoa, agar Tuhan mengampuniku karena terlalu sering berbohong.

Hakone, 26 Mei 2020

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet