Negara Asing yang Tak Lagi Asing

Diah Kintan P
3 min readAug 22, 2020

--

Photo by Kunal Sahu on Unsplash

Di usiaku sekarang yang masih di awal duapuluhan aku termasuk beruntung bisa memiliki pengalaman yang bisa dibilang tidak dimiliki semua orang. Sewaktu kuliah dulu aku pernah ngicipi kuliah di Jepang saat mengikuti program pertukaran pelajar untuk dua semester, lebih tepatnya sekitar sepuluh bulan. Setelah lulus kuliah, untuk yang kedua kalinya aku menetap di Jepang. Bukan untuk kuliah, tapi untuk kerja. Sudah satu tahun berlalu sejak aku datang di Jepang untuk bekerja. Aku masih ingat dulu bagaimana aku sangat-sangat ingin kembali ke Jepang lagi. Alasannya? Ada alasan bodoh dibalik kedatanganku sebenarnya, tapi cerita itu sudah basi dan lebih baik jika dianggap tidak pernah ada saja.

Pernahkah kalian merasa seperti lupa di mana kalian berada? Pertanyaan barusan mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi aku ingin sedikit bercerita. Setelah aku mulai terbiasa dengan pekerjaan dan juga kehidupanku di sini, aku seringkali lupa kalau aku sekarang sedang berada di Jepang.

Lho, tapi kan setiap hari lihat tulisan cacing dan juga ngomong pakai bahasa Jepang? Berinteraksi sama orang Jepang juga kan? Kok bisa lupa?
Iya memang betul begitu, tapi waktu di Indonesia juga di kelas yang dibahas bahasa Jepang, punya teman orang Jepang juga selama di Jogja jadi kadang ngomong Jepang dikit-dikit, bacaan ada yang bahasa Inggris, dengar lagu-lagu bahasa Korea, ngobrol dengan teman pakai bahasa Jawa, tidak beda dengan keseharianku sekarang. Hanya prosentase penggunaan bahasanya saja yang berubah. Jadi lebih banyak pakai bahasa Jepang kalau masuk kerja, pakai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa kebanyakan lewat teks, bahasa Inggris kalau lihat tontonan di Youtube dan bahasa Korea buat dengar lagu-lagu.

Terus kapan berasa lagi di Jepangnya?
Waktu kangen rumah dan pengen pulang. Langsung teringat kalau mau pulang harus naik pesawat. Kalau naik pesawat yang mahal dan langsung tanpa transit paling cepat 8 jam. Kalau harus transit bisa lebih dari setengah hari. Belum lagi perjalanan dari Hakone (tempatku tinggal sekarang) ke bandara yang bisa menghabiskan waktu 4 hingga 5 jam (maklum di sini jadi orang kampung). Bayanginnya saja sudah lelah. Belum memikirkan ongkos yang harus dikeluarkan buat beli pesawat. Mendadak merasa miskin.

Intinya, meskipun di sini aku warga negara asing, tapi lama kelamaan negara ini tidak lagi asing buatku. Mungkin kalau aku tidak bisa bahasa Jepang, tidak pakai bahasa Jepang di tempat kerja, dan tidak bekerja dengan orang-orang Jepang, akan beda cerita. Bisa jadi negara asing ini bagaimanapun akan tetap asing buatku. Aku jadi kepikiran, misal aku pulang nanti hal-hal yang dulu bagiku begitu wajar apakah akan terasa asing? Istilahnya sih reverse culture shock, dulu waktu pulang dari pertukaran pelajar aku tidak terlalu merasakannya. Mungkin karena dulu intensitasku bersinggungan dan benar-benar berinteraksi dengan orang dan budaya Jepang lebih sedikit daripada sekarang. Aku rasa ini ada kaitannya dengan konsep uchi-soto nya orang Jepang. Apa itu uchi? Apa itu soto? Yang jelas bukan soto yang enak itu. Jelaskannya kapan-kapan saja ya. Yakin bakal bikin tulisan semacam ini lagi karena banyak bahan untuk sambat.

Sebenarnya masih banyak hal-hal yang aku tidak terbiasa dari Jepang. Misalnya, keramaian di Tokyo. Tapi ya itu karena sekarang aku tinggal di kampung, lebih tepatnya gunung. Aku terbiasa dengan naik bus satu jam untuk ke “kota”, tapi aku tidak terbiasa dempet-dempetan di kereta. Aku terbiasa melihat bukit-bukit hijau sepanjang perjalanan ke tempat kerja, tapi aku sering nggumun saat lihat gedung-gedung tinggi di pusat kota.

Untuk menjadi terbiasa itu bukan urusan yang gampang. Ada suatu waktu saat aku hampir setiap hari memaki betapa tidak nyamannya tinggal di pucuk gunung ini. Semua terasa ribet dan menyebalkan. Mau belanja kebutuhan sehari-hari harus jalan 10 menit, pulangnya masih harus bawa belanjaan yang berat. Supermarket terdekat tutup jam enam sore. Mau ke kota naik bus lama. Kalau mau pergi malam-malam ada resiko bertemu celeng. Aku membenci semua yang ada di sekelilingku yang akhirnya malah bikin puyeng dan super stres.

Setelah menyangkal, marah, menawar, dan (sedikit) depresi dengan keadaan, datanglah penerimaan. Tidak mudah memang, tapi setelah bisa nrimo dan setel kendho, hidup terasa begitu tenang. Ada masalah? Dibawa tidur besoknya (sebisa mungkin) tidak diingat-ingat. Ada masalah di tempat kerja? Tidak perlu dibawa pulang, sudah sampai rumah berarti sudah saatnya istirahat. Ada kalanya kita harus bodo amat dengan beberapa hal, tapi nyatanya menjadi bodo amat tidak selalu mudah.

Hakone, 23 Agustus 2020

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet