Musim Ajisai

Diah Kintan P
4 min readJul 30, 2020

--

Aku ingin mulai membuat musim-musim baru dan menamainya dengan nama-nama bunga yang bermekaran. Seperti orang-orang dari tempatku berasal yang menandai suatu masa dengan nama buah-buahan hasil panen, kadang juga dengan kegiatan-kegiatan yang sedang ramai digelar. Musim mangga, musim durian, musim rambutan, ada juga musim kawin, musim kondangan, semua nama-nama musim yang tidak aku dengar dan jumpai untuk satu tahun terakhir.

Hujan, hujan, hujan. Setiap hari adalah hari yang lembab dan basah. Hari-hari yang repot karena tidak bisa menjemur cucian di luar sehingga kamar terpaksa jadi bau jemuran basah. Hari-hari tanpa sinar matahari yang hanya kuhabiskan untuk bermalas-malasan di balik futon. Baru setelah aku amat jarang melihat matahari aku merindukan panas dan cahayanya yang menyilaukan. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kulihat langit biru. Akhir-akhir ini bisa melihat langit berawan pun sudah beruntung, kabut sering sekali datang menyembunyikan pemandangan.

Aku baru tahu kalau di Jepang ternyata ada musim hujan setelah menetap di sini. Tsuyu, begitu mereka menyebutnya. Musim hujan di sini sedikit berbeda, selain karena karakter hujan yang berbeda dengan negara tropis, hujan di sini juga kurang romantis. Mungkin aku saja yang sekarang telah berubah jadi manusia yang tidak romantis, bisa jadi. Sepertinya dulu aku selalu senang kalau hujan datang, ada semacam perasaan nyaman dan damai karena bisa untuk sebentar diam tidak perlu melakukan apa-apa. Ada janji? Bisa dibatalkan. Ada yang harus diselesaikan? Bisa ditunda. Sekarang aku lebih sering uring-uringan kalau hujan datang. Terlebih jika hujan di jam berangkat kerja.

Di negeri ini orang-orang rajin sekali menyimak ramalan cuaca di pagi hari. Ramalan cuaca itu penting sekali untuk disimak demi mengambil keputusan-keputusan dengan bijak untuk keberlangsungan hidup di hari itu. Haruskah membawa payung saat pergi keluar nanti? Sebaiknya pakai baju apa? Apakah lebih baik pakai sepatu anti air? Kalau hari ini cerah sebaiknya mencuci seprai. Semua terencana berdasarkan prakiraan cuaca. Mengamati orang sini memang selalu menarik.

Sayangnya prakiraan cuaca tidak selalu bisa dipercaya. Prakiraan cuaca tidak selalu benar, terlebih jika berada di entah berantah. Seperti jika tinggal di gunung yang seolah punya iklim sendiri yang sama sekali berbeda dengan dataran lain. Ini hanya salah satu dari banyak hal yang membuat tinggal di atas gunung tidak selalu menyenangkan. Lantas mau bagaimana? Ya nggak gimana gimana, toh pada akhirnya akan belajar untuk bisa menyukai hal-hal yang awalnya dibenci untuk bertahan hidup. Setidaknya aku begitu.

Aku selalu mencintai bunga-bunga, mungkin ada kaitannya dengan namaku. Saat aku menginjakkan kaki di negeri asing ini aku sangat terpukau dengan bunga sakura yang mekar sempurna. Hingga tiga tahun lalu, pada suatu hari di bulan Juni yang semakin gerah dan lengket aku mengenal bunga yang tidak kalah cantik; ajisai. Mungkin kamu lebih mengenalnya dengan sebutan hortensia, hydrangea atau kembang bokor.

Apa menariknya? Di Indonesia juga ada. Iya, memang di Indonesia juga ada. Tapi ada yang begitu indah dari bunga-bunga ajisai yang bermekaran di sepanjang jalan menuju stasiun, di pagar yang membatasi jalan dengan rel kereta. Bunga-bunga yang akan selalu mengingatkanku dengan rasa gerah yang membikin badan lengket, bunga-bunga yang mengingatkanku akan tsuyu dan hujan yang tidak henti-henti, bunga-bunga yang sedikit banyak mengingatkanku akan kampung halaman.

Aku ingin membuat musim baru dengan menyebut musim hujan di Jepang — tsuyu, sebagai musim ajisai.

Photo by Steph Cruz on Unsplash

Bunga ajisai itu sangat menarik. Sebelum mekar kuncupnya berwarna putih. Kemudian ia akan mekar dengan warna-warna cantik; putih, merah muda, biru atau ungu, tergantung tingkat keasaman tanah tempatnya tumbuh. Seperti hidup. Kau ada, lalu kau tumbuh, tumbuh dan terus tumbuh tanpa pernah mengetahui akan menjadi apa atau bagaimana. Benarkah tanah tempatku berpijak ikut menentukan akan menjadi apa aku nantinya? Aku masih terus mengagumi cantiknya warna-warni bunga ajisai yang bermekaran, walau beratus kali melihatnya aku tidak pernah bosan. Tapi apakah bunga-bunga itu tahu akan kecantikannya yang memukau? Ataukah mereka sama seperti kita manusia?

Bunga ajisai di sudut ruangan menemaniku menanti kehadiran seseorang yang kuharapkan bisa membawakan kehangatan di hidupku, seseorang yang akan datang bersama langit biru mengusir kelabu yang tergantung di atas langit. Aku masih ingin meyakini bahwa ia akan datang, dan aku harap ia datang sebelum kelopak terakhir bunga ajisai di atas mejaku gugur. Sungguh mati aku tidak mau menunggu sendiri.

Tapi aku tidak pernah tahu apa yang akan disuguhkan oleh hidup di atas mejaku. Apakah hidup akan memberikan apa yang aku tunggu, ataukah ia akan menyajikan sebuah kejutan yang sama sekali tidak aku harapkan? Aku menunggu dan terus menunggunya dari hari ke hari di bawah langit yang selalu mendung. Kelopak bunga ajisai mulai mengering dan berguguran satu per satu. Aku masih tidak mendapat kabar darinya.

Kelopak terakhir bunga ajisai gugur di atas mejaku dan masih belum kudapati sebuah jawaban. Satu yang pasti, yang kuanggap sebagai jawaban atas pertanyaanku adalah keberadaanku baginya yang tidak sama dengan keberadaannya di hidupku. Sudah saatnya aku berhenti menunggu. Jika benar aku pernah mencintainya, meski hanya sedikit dan sebentar saja, maka aku harus bisa melepaskannya. Lalu aku putuskan untuk melepaskannya di tetes terakhir air hujan yang menghantam aspal sore ini.

Hujan berhenti. Aku berusaha keras untuk menghilangkan kenangan-kenangan tentangnya, meleburkannya bersama tetes hujan terakhir di musim ajisai.

Hakone, ditulis sepanjang tsuyu — musim ajisai 2020
hingga hari ini langit biru masih belum menampakkan wajahnya

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet