Mendaki Gunung Fuji

gunung tertinggi di Jepang yang sudah lama kukagumi

Diah Kintan P
9 min readOct 4, 2021

Tepat sebulan yang lalu, aku berhasil melakukan satu dari beberapa hal yang aku tuliskan di bucket list-ku sebelum meninggalkan negeri matahari terbit; menginjakkan kaki di puncak Gunung Fuji. Bagi sebagian orang mendaki gunung itu mungkin sesuatu yang biasa saja. Tapi buatku yang olahraga saja hampir tidak pernah, mendaki gunung apalagi gunung tertinggi di Jepang adalah hal yang nekat. Sepertinya nekat itu understatement karena sebenarnya apa yang aku lakukan itu lebih pantas disebut “menantang maut”.

Gunung Fuji berlokasi di Taman Nasional Fuji-Izu-Hakone dan terletak di Prefektur Shizuoka dan Yamanashi, merupakan gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3.776 mdpl. Gunung Fuji merupakan satu dari tiga gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat Jepang. Disebut sebagai ikon budaya Jepang, banyak sekali wisatawan lokal maupun asing yang jauh-jauh datang untuk menikmati pemandangan menakjubkan gunung yang menjulang tinggi itu.

Gunung Fuji terletak sekitar 100 km dari Tokyo, dan di cuaca yang cerah bisa dilihat dengan jelas bahkan dari pusat kota. Tapi tempat-tempat terbaik untuk melihat Gunung Fuji ada di sekitar Taman Nasional Fuji-Izu-Hakone. Aku beruntung karena tinggal di Hakone, kota kecil yang terletak di pegunungan ujung barat Prefektur Kanagawa yang terkenal dengan onsen (pemandian air panas), dan di hotel tempatku bekerja aku bisa melihat Gunung Fuji (jika cuaca cerah). Ada semacam kekuatan magis yang menghipnotisku setiap aku memandangnya dari kejauhan.

Gunung Fuji dan taman bunga matahari

Aku bukan orang yang suka menjelajah, tidak suka pergi ke tempat baru, tidak suka melakukan hal baru. Aku lebih suka berdiam diri di rumah dan tidur seharian. Tapi cukup satu patah hati, dan aku berpikir dengan sangat berbeda. Orang lain tidak akan bisa selalu memberikan apa yang aku inginkan, maka aku akan mengabulkan semua keinginanku. Waktu berjalan maju dan kesempatan-kesempatan itu tidak akan datang dua kali. Tidak ada yang tahu kapan aku bisa datang ke Jepang lagi, maka inilah satu-satunya kesempatanku.

Puncak Gunung Fuji diselimuti salju sekitar 5 bulan dalam setahun, di musim panas salju di puncak akan meleleh dan hanya di musim tersebut pendakian hingga ke puncak diperbolehkan (awal Juli hingga awal September). Senekat-nekatnya aku, aku paham kalau mendaki sendirian itu berbahaya dan tidak akan berakhir dengan baik. Maka aku mengajak seorang rekan kerjaku (berikutnya akan kusebut senpai)yang terkenal sudah berkali-kali mendaki Gunung Fuji. Karena jadwal kerja yang cukup padat dan senpaiku sedang ditugaskan di lokasi lain, kami mendaki cukup mepet di akhir musim pendakian, tepatnya tanggal 4 September 2021. Ramalan cuaca menyebutkan bahwa di hari itu akan turun hujan, dan suhu di puncak sudah turun hingga 6 derajat celcius (di pusat kota suhu masih di kisaran 30 derajat celcius). Bukan cuaca terbaik untuk mendaki, tapi kami tetap meniatkan untuk berangkat.

Persiapan

Sebagian besar persiapan dibantu oleh senpai. Karena dia lebih berpengalaman, dia sudah banyak mencari tahu soal medan yang akan dilalui, cuaca hari itu, barang-barang yang perlu dibawa, hingga makanan dan minuman pun dia juga yang menyiapkan. Senpaiku hanya berkali-kali mengingatkanku, “yang penting kamu siap fisik dan mental”. Jokes on him, aku sama sekali tidak menyiapkan keduanya.

Tentu aku ingin mempersiapkan fisikku dengan baik sebelum mendaki, tapi hingga seminggu sebelum mendaki aku masih harus bekerja dan di akhir-akhir aku bekerja aku hampir setiap hari masuk sif malam untuk dua minggu. Jangankan olahraga, untuk tidur nyenyak saja aku kesulitan. Setelah hari terakhir bekerja aku juga mendapatkan dosis kedua vaksin Moderna yang membuatku terbaring lemah seharian penuh tanpa bisa melakukan apa-apa. Satu-satunya hal yang berhasil aku persiapkan hanya menyewa sepatu dan jaket untuk mendaki.

Hari H

Kami berangkat dari Hakone sekitar pukul 5 pagi, aku tidak ingat kapan terakhir aku keluar rumah sepagi ini. Hari itu diprediksi akan hujan tapi pagi itu masih hanya berawan. Dari empat jalur pendakian di Gunung Fuji; Fujiyoshida, Subashiri, Gotemba, dan Fujinomiya. Kami memutuskan untuk mendaki melalui Jalur Fujiyoshida karena kami bisa memulai pendakian dari Fuji-Subaru Line 5th Station di ketinggian 2.300 mdpl. Pendakian akan dimulai dari pos 5 dengan pos 9 sebagai pos terakhir sebelum puncak.

Perjalanan dari Hakone hingga Fuji-Subaru Line 5th Station menghabiskan waktu kurang lebih satu setengah jam dengan mobil. Kami tiba sekitar pukul setengah 7, cuaca mendung dengan suhu 14 derajat celcius, cukup dingin mengingat saat itu masih penghujung musim panas. Sesampainya di tempat parkir, kami segera menata tas dan mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk mendaki. Selesai menyiapkan barang-barang kami berjalan menuju ke pintu masuk yang jaraknya kurang lebih 1 km dari tempat parkir. Setelah berjalan sekitar 200 m, shuttle bus menuju rest area datang dan kami memutuskan untuk naik shuttle bus.

Di rest area ada beberapa gedung yang diisi toko oleh-oleh dan beberapa restoran. Di toko-toko itu dijual tongkat yang digunakan untuk mendaki yang terbuat dari kayu. Ketika mendaki nanti akan ada toko-toko yang menyediakan ‘cap’ dengan harga 300–500 yen. Aku tentu tidak membeli tongkat itu karena jelas aku akan pulang ke Indonesia dan aku tidak ingin menambah barang bawaan.

bagian rest area

Setelah melewati gedung-gedung pertokoan, kami sampai di pintu masuk. Untuk mendaki Gunung Fuji pendaki harus membayar 1000 yen untuk biaya konservasi. Staf kemudian memberikan gantungan sebagai kenang-kenangan dan pamflet yang menjelaskan rute pendakian Fujiyoshida, dituliskan berbagai informasi lengkap termasuk apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat.

Di awal pendakian cuaca masih cukup bersahabat, hanya sedikit berawan saja. Pemandangan juga sangat luar biasa. Biasanya aku bisa melihat lautan awan hanya ketika sedang naik pesawat, jadi melihat lautan awan dan tetap menapakkan kaki di tanah adalah pengalaman baru yang luar biasa.

雲海

Jalur dari pos 5 menuju pos 7 (5th-7th station) merupakan jalur zig zag dengan kemiringan yang landai. Walaupun jalur ini termasuk jalur yang cukup mudah, aku mengambil banyak istirahat. Kadar oksigen di atas cukup rendah jadi cukup sulit untuk mengatur nafas dengan baik. Perlu diingat juga bahwa aku sangatlah tidak fit jadi aku 80% mengandalkan niat. Setelah kurang lebih 3 jam, akhirnya aku sampai di pos 7.

Cukup banyak pendaki lain di hari itu, dan anehnya lebih banyak orang-orang asing. Dari seragamnya sepertinya mereka tentara Amerika yang ditugaskan di Jepang, aku tahu di sekitar sini banyak pangkalan militer. Beberapa kali aku sempat menyapa dan sedikit berbincang dengan mereka. Asik juga rasanya karena sudah lama aku tidak bercakap dengan bahasa Inggris.

Melewati pos 7 medan semakin terjal. Yang mulanya hanya jalan sedikit landai, dari pos 7 banyak jalan berbatu yang harus dipanjat. Dari pos 7 ke pos 8 banyak penginapan atau tempat peristirahatan. Pendaki yang ingin melihat matahari terbit biasanya memulai pendakian di sore hari, beristirahat di penginapan dan melanjutkan perjalanan di pagi hari.

Lewat jam 11 pagi, kami sampai di pos 8 dan cuaca mulai memburuk. Kabut datang dan pergi dan hujan rintik beberapa kali turun. Kadar oksigen semakin menipis di ketinggian 3.000 mdpl. Jujur saja aku beberapa kali goyah untuk menyerah saja, tapi senpaiku selalu memberi semangat. Dia bilang, “Kurang naik 600 m lagi kita sampai di puncak, masih bisa jalan 3 jam lagi kan?” Aku tidak bisa mengutip kata-katanya dengan baik, tapi aku berani bersumpah dia bisa membuat semua terdengar mudah.

Sejujurnya aku tidak betul-betul ingat jalur yang kulewati. Karena setiap saat aku melangkahkan kaki yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana caranya agar aku tetap bisa berjalan dan bernafas, bagaimana caranya biar aku tidak pingsan di tengah jalan. Tapi aku masih ingat pemandangan yang aku lihat di sepanjang pendakian. Pemandangan yang begitu menakjubkan aku sampai tidak percaya kalau aku masih menginjakkan kaki di bumi.

Dari pos 8 ke pos 9 perjalanan terasa sangat lama, selain jalanan yang semakin terjal cuaca juga semakin tidak bersahabat. Hujan terus turun tanpa henti dan jarak pandang sangat terbatas. Di titik itu aku mulai mempertanyakan semua keputusan yang membawaku ke ketinggian lebih dari 3.000 mdpl di gunung tertinggi Jepang. Sepertinya aku memang sedikit gila.

Yang membuatku terus maju salah satunya adalah dukungan dan dorongan dari senpai (ya, dia benar-benar mendorongku biar aku terus jalan), aku tidak bisa menghitung berapa kali dia bilang ganbatte hari itu. Kalau tidak ada dia aku tidak yakin aku bisa pulang dengan selamat.

Perlahan tapi pasti akhir dari pendakian semakin dekat. Semakin ke atas angin semakin kencang, hujan terus datang dan pergi, kabut semakin tebal. Aku hanya bisa terus berjalan ke depan.

Satu kilometer terakhir adalah yang terberat. Aku ingat aku beristirahat setiap 10 meter berjalan, oksigen yang semakin menipis hanya membuat keadaan menjadi lebih sulit. Setelah beristirahat untuk yang beratus kali, akhirnya kami sampai juga di puncak. Sayang sekali aku tidak bisa melihat apapun di puncak karena kabut yang sangat tebal.

Di puncak ada kuil, tempat peristirahatan, dan juga kantor pos. Tapi karena hujan salju mulai turun aku hanya sempat untuk masuk ke kuil dan membeli omamori (jimat yang biasa di jual di kuil Shinto atau kuil Budha). Ada perasaan haru ketika aku berhasil menginjakkan kaki di titik tertinggi Jepang, tapi aku harus buru-buru turun sebelum hujan semakin deras. Lagi pula siapa yang mau kehujanan di suhu 6 derajat celcius.

Total waktu pendakian sekitar 7 jam dan waktu untuk turun gunung sekitar 3 jam. Waktu yang wajar untuk pemula. Tapi aku sebenarnya tidak peduli seberapa lama aku menghabiskan waktu untuk mendaki, aku sudah cukup bangga aku masih hidup setelah menantang maut sedekat itu.

Seumur hidup aku tidak pernah merasakan badanku selelah itu. Di saat menuruni gunung pun juga cukup melelahkan karena kaki harus terus menahan badan. Di akhir-akhir aku sudah tidak bisa berjalan dengan baik, aku harus menyeret kakiku agar bisa terus bergerak. Sesampainya di rest area aku langsung ganti baju dan mengembalikan sepatu juga jaket yang aku sewa. Senpaiku berjalan ke parkiran untuk kemudian menjemputku dengan mobil dan kami segera pergi meninggalkan Gunung Fuji untuk makan malam. Senpaiku yang baik hati itu menyuruhku untuk beristirahat sebentar dan malam itu ditutup dengan makan yakiniku terenak yang pernah aku makan.

The Aftermath

Hari berikutnya aku tidak bisa beranjak dari tempat tidur karena kakiku teramat sangat sakit. Untuk berjalan aku harus mengangkat kakiku dengan kedua tangan. Terdengar tidak masuk akal tapi itu benar-benar terjadi. Walaupun seluruh badanku terasa begitu sakit, aku merasa sangat senang. Dan aku yakin ini akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan.

Ada banyak hal yang aku dapatkan dari pendakianku hari itu. Aku juga sedikit paham kenapa banyak orang yang suka mendaki gunung. Ada beberapa hal yang begitu fisolofis dari kegiatan mendaki, pelajaran yang bisa diambil dan diterapkan.

Di sepanjang perjalanan kita akan bertemu dengan banyak orang, sekali waktu mereka akan berjalan di depan, dan lain waktu kita akan mendahului. Semua orang bergerak dengan kecepatannya masing-masing, dan yang perlu kita lakukan adalah fokus untuk terus melangkah ke depan.

Akan ada orang yang menemani di sampingmu, akan ada orang yang mendorong dari belakang, tapi hanya kamu yang bisa membawa dirimu ke garis akhir. Never underestimate yourself.

Sampai sekarang aku masih tidak percaya kalau aku bisa berjalan selama itu dalam sehari. Mulai hari itu aku percaya, jika aku yakin pada diriku sendiri bahwa aku bisa melakukannya, maka semua mimpiku bisa menjadi nyata.

Jakarta, 4–5 Oktober 2021

--

--

Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.