Malam yang Panjang

Diah Kintan P
4 min readMay 5, 2020

--

Pukul 00:00
Seperti biasa, aku masih belum bisa tidur. Aku tidak mengerti kenapa aku belum juga mengantuk. Padahal kemarin aku tidak tidur semalaman dan hampir mampus karena harus bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Masih terngiang di kepalaku komentar seorang senpai*, tidak sehat sekali pola hidupmu, begitu katanya. Ya, aku tahu. Cepat atau lambat ini akan membunuhku. Kalau tidak tiba-tiba sakit, mungkin satu atau dua organku tidak akan berfungsi maksimal ketika aku bertambah usia.

Pukul 00:26
Pesan masuk.
“Kamu sedang apa?”
“Baca buku, kamu?”
“Main game
“Asik dong. Kamu belum tidur?”
“Akhir-akhir ini aku selalu tidur larut..”

Percakapan itu berlanjut panjang. Diselingi membaca buku setelah mengirim pesan, menunggu balasannya.

Pukul 01:17
Hari ini tanggal 5 bulan 5. Tanggal yang cantik dan mudah diingat. Hari yang tepat untuk mengukir kegagalan menyedihkan yang kalau perlu dibingkai dan dipajang agar tidak dilupakan sedetik pun.

Sudah lama aku menyimpan rasa, diam-diam mengaguminya. Cepat atau lambat aku harus menyatakan perasaanku kepadanya. Aku tahu apa yang akan terjadi. Aku tahu memang sejak awal perasaanku tidak berbalas. Tapi aku harus mengatakannya, supaya aku bisa beranjak dari khayalan-khayalan dan menerima kenyataan. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Aku tidak bisa tidur, otakku sedang lelah dan tidak bisa berpikir jernih, liburku masih panjang dan tentunya lebih dari cukup untuk mengobati patah hati. Tanganku mendadak dingin. Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Ini saat yang tepat.

Kayaknya aku suka sama kamu deh, hehe”, ada gamang yang bertahan beberapa saat sebelum aku menyentuh tombol kirim.

Pukul 02:00
Bukan penolakan yang membuatku sedih malam ini. Karena memang tidak pernah ada penolakan. Yang aku bilang kepadanya hanyalah sebuah pernyataan dan bukan permohonan. Tidak mungkin ada penolakan lahir dari sebuah pernyataan.

Aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Dan aku pikir aku tidak akan kecewa karena aku sudah mempersiapkan hati untuk kecewa. Ternyata aku salah, aku tetap saja kecewa. Malah semakin kecewa karena hatiku tidak mau bertingkah sesuai keinginan.

Pukul 03:00
Aku mengirim pesan ke beberapa temanku. Aku butuh didengarkan. Aku butuh kawan untuk untuk memahami dan memproses perasaan yang membingungkan ini. Group call bersama dua orang temanku dimulai. Aku mengambil kertas, sesi curhat pun dimulai. Aku mencoba merumuskan pikiran-pikiran yang terlampau ruwet. Baik sekali mereka mau menemani.

Group call akan segera berakhir.
“Terima kasih ya sudah mau menemani. Aku berasa cengeng banget mewek begini.”
“Gapapa aku kemaren juga nangis. Alasannya juga sepele banget.”
“Kenapa?”, aku dan satu temanku kompak bertanya.
“Gara-gara denger lagunya D’Massiv yang ‘Jangan Menyerah’.”
Kami berdua tertawa.
“Tapi ada satu lagu lagi, lagunya Bondan Winarno yang ‘Ya Sudahlah’.”
Aku tertawa lagi karena dua hal, pilihan lagu dan salah sebut nama. Aku baru dengar kalau almarhum Bondan Winarno juga sempat merambah dunia musik.

Pukul 04:00
Group call ditutup. Aku masih tidak bisa berhenti tertawa karena kebodohan temanku. Ada pesan masuk darinya.

“Sudah mulai terang”
“Aku tidak bisa tidur, terlalu banyak pikiran”

Aku menengok keluar jendela. Kabut tipis berarak di atas bukit. Aku ambil jaket, gawai dan kamera.

“Tidurlah. Aku mau jalan-jalan”
“Hati-hati ya”

Pukul 05:00
Aku berjalan memburu matahari. Aku berjalan dan terus berjalan, tidak ingin berpikir sama sekali. Satu, dua, tiga mobil melintas. Dibalik kemudi, mata-mata itu melihatku dengan aneh, mungkin mereka pikir aku gila. Dan itu memang tidak sepenuhnya salah. Aku tetap berdiri, memegang kamera, mengambil gambar matahari terbit. Berharap indahnya bisa aku simpan untuk esok karena aku tidak mungkin bangun pagi. Pagi ini bukan pagi yang cerah. Kabut putih melintas di atas bukit seperti sedang membawa rahasia.

sumber: koleksi pribadi

Pukul 06:00
Aku duduk di satu taman yang kosong. Hanya aku satu-satunya manusia di sini. Aku melepas headset untuk mendengarkan kicauan burung. Burung-burung bernyanyi sambil berkejaran, bermain di genangan air dari hujan semalam. Aku duduk, membuka teh hangat dan roti yang baru aku beli di konbini*. Aku melahap sarapan sambil melihat kabut perlahan menghilang di kejauhan. Aku butuh waktu sendiri.

sumber: koleksi pribadi

Pukul 06:45
Aku beranjak dari bangku taman. Aku harus pulang. Aku harus menuliskan semuanya sebelum kata-kata menguap tak bersisa.

Pukul 07:30
Aku terduduk di depan laptop. Menulis sambil mendengarkan lagu. Aku mulai bernyanyi dengan suara yang cukup lantang.

Pukul 08:20
Pesan masuk.
“Bisa nggak suara nyanyinya dipelanin dikit?”
Mampus, tetangga sebelah kamar mulai protes.

Sepertinya aku harus tidur. Aku ingin tidur saja seharian. Aku lelah, malam ini terlalu panjang.

*senpai: Bahasa Jepang, senior (di sekolah atau tempat kerja), seseorang yang lebih tua
**konbini:
Bahasa Jepang, singkatan dari convenience store

Hakone, 5 Mei 2020

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet