Kekasihku, Maya
Kekasihku, Maya
Langit mendung sejak sore tadi. Aku kira hujan akan datang malam ini, tapi hanya angin yang bertiup dengan sangat kencang. Berisik sekali menggedor-gedor jendela. Aneh sekali, Maya. Ketika masih di kampung aku selalu bisa membaca langit dengan baik. Aku bisa merasakan angin dan melihat warna serta kecepatan awan berarak untuk mengetahui berapa lama waktu hingga tetes pertama air hujan jatuh. Aku kira semua langit itu sama, tapi aku tak lagi bisa membaca langit di atas kepalaku. Apakah kita berada di bawah langit yang sama Maya?
Sebentar lagi pagi datang, Maya. Apakah kau masih terlelap? Nyenyak kah tidurmu malam ini? Atau kau juga seperti aku? Masih terjaga dengan pikiran (dan mungkin juga rindu) yang mengganggu. Hari-hari aku lewati dengan janggal. Bagaimana tidak? Pagiku menjelma malam, dan malamku menjadi siang. Ketika orang lain mengakhiri harinya dengan senja, aku mengakhiri hariku dengan fajar. Tidak punya pekerjaan dan tidak punya sesuatu untuk dikerjakan. Hidupku sempurna sekali sebagai seorang pecundang.
Oh ya, ngomong-ngomong soal senja, aku rindu sekali dengannya. Tentu di sini masih ada senja, aku hanya jauh dari kampung, masih di bumi belum pindah galaksi. Tapi entah mengapa senja di sini berbeda dengan senja yang aku kenal selama belasan tahun di kampung. Senja yang hangat, yang agung, yang romantis, yang dinanti, yang didambakan. Entah mengapa senja di sini seperti diabaikan, atau mungkin orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing untuk menyadari keberadaannya?
Tempo hari aku berteori, jika senja di kampung lebih memikat karena ia semacam perubahan yang signifikan. Maksudku, kau tahu kan sepanjang tahun tidak ada perubahan yang wah, selalu panas sepanjang tahun, bedanya panas dan sering hujan atau panas kering, begitu. Setidaknya menurutku. Senja yang selalu datang di waktu yang kurang lebih sama sepanjang tahun itu, membawa malam untuk menggantikan siang, mengubah terang menjadi gelap. Gelap datang, anak-anak masuk rumah, azan berkumandang dan orang-orang pergi sembayang.
Di sini musim berganti empat kali. Waktu senja datang pun turut berganti. Di musim dingin dengan malam yang panjang, senja datang lebih awal. Di musim panas dengan siang yang panjang, senja akan datang terlambat. Itu kenapa aku sering tidak menyadari kapan senja datang. Aku masih belum terbiasa. Di sini tidak ada orang yang menunggu matahari terbenam sambil ngopi, Maya. Siapa yang peduli dengan matahari terbenam jika bunga sakura yang begitu cantik bermekaran sepanjang jalan? Mudah sekali kita mengabaikan sesuatu yang dekat dengan kita. Kira-kira begitu. Apa kau mengerti maksudku, Maya? Aku tahu ini teori yang tidak jelas, sulit dirumuskan dalam kata-kata. Aku pun tidak begitu ingat jalan pikiranku, aku sedang mabuk saat mencetuskannya.
Pagi sudah datang dan aku sama sekali belum mengantuk. Angin masih bertiup kencang. Langit masih mendung. Aku harap hujan turun hari ini. Supaya aku bisa tidur lelap dan menemuimu lewat mimpi.
Aku merindukanmu Maya, sungguh aku bisa mati karenanya.
Semoga kita segera bertemu.
Salam rindu,
Sugeng
Hakone, 1 Mei 2020
- Catatan:
Tulisan ini dibuat untuk menyelesaikan proyek pribadi #MeiMenulis: satu unggahan setiap hari di bulan Mei.