Angin Lalu
Jika suatu saat kita berhenti berbincang dan aku tidak bisa lagi mengenangmu dalam benakku. Jika suatu saat wajahmu hanyalah bayang buram dalam ingatan. Sebelum semua itu terjadi, aku akan terlebih dahulu menuliskanmu menjadi sebuah cerita supaya aku bisa mengenangmu dalam kata-kata.
Berharap bukan tindak kejahatan, tapi terkadang konsekuensinya bisa membunuh. Mungkin aku berlebihan, mungkin aku hanya putus asa. Entahlah, keduanya sama-sama tidak menyenangkan dan tidak ada untungnya buatku.
Kau dan aku, kita bertemu dalam sapa. Menyapa dari jarak yang jauh, namun tidak lebih jauh dari jangkauan jemari. Jika ada yang sama di antara kita malam itu, adalah dua orang kesepian yang ingin berbincang. Saling melempar salam selamat malam. Mungkin mengharapkan sebuah obrolan sekenanya, mungkin mengharapkan teman untuk ditemui saat ada waktu senggang. Satu yang pasti, kita sama-sama kesepian.
Mungkin benar kata orang, dunia sudah mulai gila. Bagaimana orang yang tidak nyata wujudnya, yang tidak pernah ditemui secara langsung, yang tidak pernah didengar suaranya bisa menemani tanpa perlu ada? Lucu juga bagaimana kita terus berbincang hanya karena sama-sama tidak bisa tidur. Lucu sekali rasanya seperti benar-benar ditemani padahal nyatanya hanya sedang sama-sama sendiri.
Aku hanya mengenalmu lewat kata-kata. Setidaknya lewat kata-kata yang kau kirimkan padaku. Menurutku kamu orang baik. Rajin ke gereja setiap minggu, berbakti kepada orang tua, selalu mendengarkan ceritaku dengan baik meski tidak bermutu, memberikan nasihat yang terdengar seperti omelan, membangunkanku supaya tidak terlambat kembali kerja, sekali menungguku hingga selesai shift malam. Bahkan hari ini, kamu langsung menelponku setelah tahu aku sedang kalut. Aku yakin kamu orang yang baik.
Ada satu dua hal yang sering tidak aku pahami darimu. Kenapa kamu sering kali menelponku di saat-saat yang aneh? Buat apa menelpon saat sedang di perjalanan ke stasiun? Buat apa pula kamu menelpon saat sedang berendam air panas sehabis mandi? Tentu aku sudah menanyakan ini kepadamu. Jawabanmu, yang begitu jujur itu alih-alih melegakan malah hanya membuat sebal. Aku sebal karena dugaanku benar. Kamu bosan.
Tidak ada yang salah. Hanya saja kejujuran itu menyebalkan. Tidak masalah jika kamu hanya menelponku saat bosan. Tidak masalah jika kamu hanya menanyakan kabar sekali seminggu atau bahkan sekali dalam sebulan. Nyatanya aku senang ada yang mengingat keberadaanku. Terlebih jika itu kamu.
Tahukah kamu jika kamu menarik? Setidaknya, buatku? Kamu tinggi dan gempal, jika kamu terlahir kembali mungkin kamu akan menjadi boneka beruang raksasa yang bisa berjalan. Meski usiamu jauh di atasku, tapi kamu terlihat sangat muda. Kamu lucu, aku tidak bosan berbincang denganmu berjam-jam. Siapapun wanita yang suatu saat kau pilih nanti adalah wanita yang beruntung. Mungkin ini sangat klise, tapi aku berharap kamu akan bahagia.
Pernah sekali kau bilang padaku. Sesuatu yang dimulai akan berakhir, dan itu adalah sewajar-wajarnya kejadian. Semua orang mengalaminya. Mungkin suatu saat kita juga akan mengalaminya. Ya aku tahu, tidak ada yang spesial di antara kita. Hanya dua teman biasa. Dua teman biasa yang salah seorangnya diam-diam mengagumi seorang lainnya. Aku rasa kau menyadarinya, hanya pura-pura tidak tahu saja.
Namun jika suatu saat itu benar-benar terjadi. Sebelum aku melupakanmu. Sebelum aku menjadi angin lalu di hidupmu. Biarkan aku mengabadikanmu dalam kata. Dalam tulisan yang tidak akan pernah kau baca, apalagi kau pahami.
Tak apa jika tulisan ini berakhir menjadi kenangan yang memalukan. Aku lebih takut melupakanmu dalam diam.
Hakone, 10 April 2020