Andai Namaku Bukan Namaku

Diah Kintan P
3 min readMay 21, 2020

--

Pernahkah kamu membayangkan suatu dunia dengan kehidupan yang berbeda dengan hidupmu yang sekarang? Bayangkan kamu memiliki hidup yang berbeda. Kadang aku membayangkan aku adalah seorang ilmuwan yang sedang melakukan penelitian mutakhir untuk menyelamatkan populasi bumi, dan bukan seorang karyawan yang hanya peduli soal gaji untuk menyambung hidup dari bulan ke bulan. Kadang seorang miliarder yang sedang berkeliling dunia. Ya, sekali dua kali aku membayangkan hal semacam itu.

Mungkin berandai tentang hal-hal yang seperti itu akan lebih menyenangkan. Maksudku, sekarang dalam waktu-waktu sulit ini kan lebih baik membayangkan hidup yang menyenangkan. Membayangkan diri sendiri menjadi orang hebat, atau menjadi orang yang bisa membantu banyak manusia. Membayangkan diri sendiri menjadi sesuatu yang lebih besar. Namun sayang sekali otakku memilih hal lain untuk dipikirkan.

Seringkali aku memikirkan, bagaimana jika dulu aku tidak begini, bagaimana jika dulu aku tidak begitu. Akan ada di belahan bumi mana sekarang jika aku dulu tidak mengambil jurusan Sastra Jepang dan mengambil jurusan Bahasa Korea saja, misalnya. Seperti apa kegiatanku kalau aku masih bekerja di Jakarta. Dan masih banyak pikiran lain yang jadi alasan susah tidur.

Beberapa contoh yang sudah disebutkan tadi memang kebanyakan soal membayangkan bagaimana jika aku mengambil keputusan yang berbeda (dan juga sedikit mempertanyakan keputusan-keputusan yang sudah terlanjur diambil dan dijalani), tapi hari ini muncul pertanyaan baru dan soal ini benar-benar di luar kuasaku. Bagaimana jika namaku bukan namaku yang sekarang?

Andai aku bisa berpendapat saat masih bayi dulu, mungkin aku akan minta untuk dilibatkan saat memilih nama. Bukan, bukan karena aku tidak suka dengan namaku yang sekarang. Kamu pernah mendengar cerita dari orang tua soal namamu, artinya, dan juga cerita di balik namamu? Aku pernah. Nama adalah doa, tentu saja bapak dan ibuku memilihkan nama yang terbaik versi mereka. Nama itu juga adalah nama yang disetujui oleh yang lebih dituakan — kakek dan nenekku. Aku tidak pernah memiliki komplain atas pilihan nama ini, sampai suatu hari ibuku menceritakan suatu cerita dibalik namaku yang hingga saat ini tidak bisa aku lupakan.

Bapak dan ibuku tentu punya beberapa pilihan untuk urusan penamaan ini sebelum memutuskan nama mana yang akan kupakai sampai mati. Di antara nama-nama itu, ada satu nama yang sebenarnya juga favorit mereka. Mikage Hakawata. Keren, pikirku saat pertama kali mendengarnya. Namanya jepang-jepang gimana gitu, tapi jangan salah karena sebenarnya nama ini sungguh lokal. Konon, berdasarkan pengakuan ibuku nama itu artinya begini: Mikage adalah singkatan dari mios Kamis wage (bahasa Jawa, artinya lahir hari Kamis wage), dan Hakawata juga merupakan singkatan dari hasil karya+perpaduan nama bapak dan ibuku. Sudah terkejut, aku juga makin terheran-heran saat dengar penjabarannya. Gila, sakti amat! Ini ide dari mana? Sayangnya nama itu tidak lolos persetujuan simbahku, mungkin karena kurang njawani. Sejujurnya, aku tidak masalah dengan namaku yang sekarang. Namaku lebih panjang, jadi bisa milih mau dipanggil apa dan bisa ganti nama panggilan. Seumur hidupku terhitung aku sudah ganti nama panggilan tiga kali (dalam artian aku minta dipanggil tiga nama yang berbeda). Tapi mungkin keren juga kalau namaku betul bisa senyentrik itu.

Photo by virginia lackinger on Unsplash

Aku membayangkan, bagaimana kalau aku dipanggil Mika? Meski aku akan dengan cepat menyangkal kalau aku tidak akan cocok dipanggil begitu, nama itu terlalu imut untukku. Kalau nama itu dituliskan dengan kanji aku ingin menulisnya dengan kanji 美花, kanji 美 yang artinya ‘cantik’, dan 花 yang artinya ‘bunga’. Nama yang kalau dituliskan begitu artinya nanti sebelas duabelas dengan namaku yang sekarang. Dan aku ingin kanji itu dibaca Mikka, karena berhomograf dengan 三日 yang artinya ‘tanggal 3’, tanggal lahirku. Aku suka ide itu. Walaupun aku tidak ada rencana untuk mengganti nama, aku kadang memakainya untuk username di media sosial saat ingin menyembunyikan identitas. Mungkin aku bisa pakai untuk nama pena juga.

Ya begitulah. Kadang aku membayangkan hal-hal macam itu. Meskipun aku paham betul bahwa hal-hal itu tidak bisa diubah, dan bisa diubah pun juga tidak akan ada baiknya buatku. Biar aku meyakinkan diriku sendiri, hidup terbaik buatku adalah hidup yang aku miliki sekarang, tentu dengan segala tetek bengeknya yang tidak selalu menyenangkan.

Hakone, 22 Mei 2020

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet