Anak Kedua

Diah Kintan P
4 min readJun 14, 2020

--

Siapapun yang mengenalku dengan baik pasti tahu kalau sebenarnya aku adalah orang teramat sangat cengeng. Responku terhadap banyak hal adalah menangis. Aku akan menangis ketika aku terlampau senang, patah hati menangis, kangen rumah menangis, telepon orang tua menangis, menonton film sedih menangis, adegan drama Korea mengharukan juga menangis, ada sesuatu yang lucu aku juga akan tertawa sampai menangis. Sedikit-sedikit menangis, apa-apa ditangisi. Dasar cengeng!

Bekerja di negeri asing dan tinggal jauh dari keluarga membuatku sering memikirkan orang rumah. Memikirkan betapa pentingnya kehadiran mereka di hidupku. Entahlah, akhir-akhir ini aku merasa sangat emosional dan sangat sensitif. Bulan lalu, aku menuliskan semacam surat untuk ibukku. Di malam hari raya yang semestinya dihabiskan bersama keluarga itu, aku menangis sendirian di depan layar komputer, tentunya menangis hingga tersedu-sedu. Beberapa hari yang lalu, aku menangis setelah menghubungi kakakku.

Biarkan aku bercerita tentang kakakku dan mungkin juga sedikit cerita tentang diriku. Kami tiga bersaudara, dan kami semua perempuan. Aku anak kedua. Selisih usiaku dan kakakku enam tahun. Aku selalu mengidolakannya. Aku selalu ingin mengikuti jejaknya hingga almamater SD, SMP, dan perguruan tinggi kami sama. Aku selalu merasa bahwa kakakku selalu melakukan segala hal lebih baik dariku. Aku tidak pernah mengatakannya secara langsung kepadanya, hingga beberapa hari yang lalu saat aku menghubunginya lewat whatsapp.

Aku rasa aku tidak akan pernah suka membaca dan menulis kalau bukan karena kakakku. Aku bisa saja tidak ingat soal kartun-kartun Minggu pagi yang aku tonton sewaktu aku masih SD, tapi aku masih ingat betul soal buku-buku yang pernah aku baca. Ketika aku masih di bangku SD dan baru bisa membaca, aku ingat sekali sering membaca majalah Bobo. Sepertinya kakakku yang minta dibelikan majalah-majalah itu karena aku tidak ingat pernah minta, tapi ingatanku tentu bisa jadi salah.

Keluarga kami pindah rumah saat aku kelas 5 SD. Seorang tetangga rumah baru kami punya koleksi buku cukup lengkap. Aku masih ingat sering meminjam buku-buku dari seri Goosebumps. Kakakku yang kala itu sudah SMA akan meminjam buku-buku kumpulan cerpen atau novel sastra. Aku yang mencuri-curi baca buku pinjamannya jadi mengenal penulis-penulis ternama seperti Ahmad Tohari, Eka Kurniawan, dan juga penulis yang membuat saya jatuh cinta dengan karya-karyanya hingga sekarang; Seno Gumira Ajidarma.

Lewat whatsapp aku katakan pada kakakku, “sepertinya kalau bukan karena kamu aku tidak akan suka membaca dan menulis.”
wkwkwk apakah itu hal baik?”
“tentu saja, memangnya bisa jadi tidak baik apa”
“kalau bacaannya sesat”
“otakku gak sampai. tapi aku selalu iri, kayaknya aku tidak akan bisa jadi sebaik kamu untuk baca dan nulis.”
hiks, terharu. mungkin nanti setelah S2 kamu bisa berkata sebaliknya. dan menyalip aku seperti biasa.”

Her words got me thinking. Aku tidak pernah merasa aku ‘menyalip’ kakakku. Beberapa saat yang lalu orang-orang banyak membicarakan soal privilege atau privilese. Aku tidak akan membahas privilese dengan terperinci, yang jelas aku paham kalau privilese itu hadir di kehidupan kita dengan berbagai macam rupa. Dari percakapan dengan kakakku sore itu aku menyadari kalau aku punya privilese yang tidak dimilikinya; terlahir sebagai anak kedua.

Jika aku mencoba menjelaskannya lebih lanjut, kira-kira begini; kakakku sebagai anak pertama lebih banyak mencari tahu sesuatu hal sendiri, ketika tidak tahu soal sesuatu aku bisa langsung menanyakannya kepada kakakku. Contoh lain, ketika kuliah kakakku benar-benar sendiri di perantauan dan memulai hidup sendiri, saat aku mulai kuliah aku dan kakakku tinggal bersama, setelah kakakku menikah pun kami masih tinggal di satu kota yang sama, aku tidak pernah benar-benar sendiri kala itu. Contoh yang lebih ekstrem dan inilah yang terlintas di kepalaku baru-baru ini, kakakku yang anak pertama semacam diwajibkan (entah oleh siapa) mengambil peran sebagai pengayom, harus momong adik-adiknya, dan aku sebagai anak kedua jadi bisa mengambil peran sebagai anak yang ngeyel, yang keras kepala.

Bisa jadi aku salah, bisa jadi privilese ini hanya rekaanku saja. Tapi aku selalu membayangkan beberapa skenario ‘bagaimana jika’. Misalnya, andai kakakku belum menikah, atau andaikan aku bukan anak kedua, pasti orang tuaku akan sering menanyakan soal kapan nikah. Aku kira karena kakakku sudah menikah dan sudah punya momongan, ibuku hampir tidak pernah menyinggung soal kapan menikah (tentu juga karena sekarang memang tidak ada yang bisa diprospek). Sekali lagi, aku bisa jadi salah, dan semua ini bisa jadi murni hanya hasil overthinkingku saja.

Ini jelas berbeda di setiap keluarga dan jelas tidak sama untuk semua anak kedua di muka bumi. Tapi setidaknya itu yang aku rasakan, dan aku merasa sangat beruntung karenanya. Aku beruntung memiliki seorang kakak yang selalu mendukung keputusan-keputusanku. Aku beruntung memiliki seorang kakak yang selalu mengajariku banyak hal, yang selalu mendengarkan dan memberi saran tanpa menggurui. Dan aku percaya, aku tidak pernah benar-benar ‘menyalipnya’. Jika suatu saat aku benar bisa melampauinya dan menjadi lebih baik darinya, itu karena kami memiliki garis start yang berbeda, dan tentu saja karena aku memiliki kakak sepertinya. I am lucky to have her in my life, and I am more than grateful for it.

Hakone, 14 Juni 2020

--

--

Diah Kintan P
Diah Kintan P

Written by Diah Kintan P

Turning the chaos inside my head into well-arranged words. Writing to keep my sanity.

No responses yet