(a) nri.ma
Hari yang panjang. Musim panas akan segera selesai. Sebentar lagi nyanyian serangga yang mengiringi hari juga akan berakhir. Angin malam terasa sejuk membelai rambutku yang kupotong pendek libur minggu lalu. Bulan bersinar terang. Awan berarak tanpa menghalanginya dari pandanganku. Sampai kapan aku bisa menikmati malam seperti ini? Gelap yang diterangi cahaya bulan. Duduk sendiri di tepi jalan di depan rumah, tengah malam, tanpa ada seorang pun di sekitarku. Tiada seorang pun yang menaruh peduli.
Pikiranku terlalu berisik malam ini. Terlalu banyak pertanyaan yang bersliweran, terlalu banyak kemungkinan yang semuanya minta dipertimbangkan. Kiranya malam bisa menjawab pertanyaanku. Manakah yang kiranya lebih menyiksa? Rasa sepi atau bosan? Mungkin aku terlanjur terbiasa dengan keduanya?
Setiap hari aku menyapa sepi yang menungguku sepulang kerja. Sepi yang menghuni kamarku dan menemaniku melewati malam-malam setelah hari yang melelahkan. Ada pula bosan yang menyambutku di pagi hari saat aku susah payah membuka mata setelah mematikan alarm yang berbunyi setiap sepuluh menit sekali. Bosan dengan pagi yang begitu-begitu saja, menu sarapan yang itu-itu saja. Hari-hari yang tidak banyak variasi.
Ada perasaan yang mengganjal yang sulit sekali untuk dijelaskan. Perasaan yang sangat menggangguku akhir-akhir ini. Seperti tidak ada kata yang tepat yang bisa kupinjam untuk menggambarkannya. Perasaan yang begitu aneh yang membuat tidurku tidak nyenyak. Biasanya aku tahu apa yang bisa menghiburku saat aku merasa tidak nyaman. Bisa jadi lagu yang bisa didengarkan sambil bernyanyi, podcast yang akan kudengarkan sambil membersihkan rumah, atau tontonan di youtube yang biasa aku lihat sambil menghabiskan makan malam.
Sayang sekali. Tidak ada lagu yang bisa kudengarkan, tidak ada podcast yang aku simak, tidak ada tontonan di youtube yang bisa aku lihat, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghiburku.
Sekali dua kali teman-temanku menelponku. Obrolan-obrolan dengan kawan lama memang selalu menyenangkan. Tapi kadang pisau-pisau yang dibawa sepi terasa lebih tajam. Menyobek kardus yang di dalamnya kusimpan semua perasaan lemah tak berdaya yang selalu kusembunyikan dari dunia luar. Perasaan yang kusembunyikan karena aku ingin merasa kuat. Untuk melindungiku dari dunia luar, untuk melindungiku dari diri sendiri.
Mungkin aku tidak harus selalu kuat. Mungkin salah satu cara untuk bertahan adalah dengan tidak melakukan apa-apa. Tidak melawan, tidak berusaha, tidak mencoba mencari solusi, tidak berpikir, tidak menyerah. Diam saja. Seperti batu yang diterjang ombak, yang terkikis air hujan. Mungkin sekarang aku hanya bisa terus ada, menerima apa yang akan datang kepadaku.
Untuk saat ini, sepertinya aku hanya bisa menerima kenyataan. Bahwa perasaan yang mengganjal itu masih tidak bisa kujelaskan. Bahwa sekali dua kali aku akan marah atau menangis hingga pagi nyaris datang. Bahwa jalan yang akan aku ambil masih belum bisa aku tentukan. Bahwa hari-hari yang kujalani akan tetap membosankan. Bahwa sepi akan tetap menghuni sudut-sudut kamar. Bahwa tidak ada bahagia untuk sementara.
Hakone, 31 Agustus 2020